Pages

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 09 Februari 2013

Jelajah Kota Malang, Mengenal Sejarah dan Budaya

 

 

 

Sebelum tahun 1914 Malang masih merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan dengan kekuasaan tertinggi dipegang oleh Assisten Residen yang berkantor di selatan alun-alun (sekarang Kantor Pemberdaharaan dan Kas Negara). Setelah 1 April 1914, kota Malang berhak menjalankan pemerintahan sendiri dengan dipimpin oleh seorang Walikota. Kantor pemerintahan di alun-alun dianggap tidak mewakili gaya pemerintahan baru yang lebih modern, sehingga diusulkan untuk membuat pusat pemerintahan baru di daerah JP Coen Plein (Alun-Alun Bundar).
Nah di situlah tempat dimulainya Jelajah Kota Malang yang merupakan rangkaian acara #oblongmerahmuda dalam rangka ulang tahun komunitas Blogger Ngalam Malang yang ke 4. Yup di Alun-Alun Bundar pusat pemerintahan kota Malang. Tema mengenang sejarah dan memajukan budaya pas banget dengan jelajah kota Malang yang diadakan sehari setelah seminar di kampus STIE Malangkucewara Malang, yaitu pada 8 Januari.
Jelajah kota Malang ini, jalan-jalan ke tempat-tempat sejarah juga budaya peninggalan kota Malang. Yuk simak diajak ke mana aja blogger-blogger peserta #oblongmerahmuda termasuk Rusa oleh Dwi Cahyono pemandu wisata dalam jalan-jalan kali ini.
1. Balai Kota Malang
Seperti diceritakan di awal, Balai Kota adalah destinasi pertama dalam jelajah kota Malang ini. Menurut sejarah yang ditulis di buku Malang – Telusuri Dengan hati oleh Dwi Cahyono, dulunya sempat diadakan sayembara untuk desain gedung Balai Kota Malang. Namun dari 22 peserta lomba tidak ada yang memenuhi syarat. Desain gedung akhirnya menggunakan rancangan HF Horn dari Semarang dan memakan waktu selama 2 tahun, dari 1927-1929. Ruang walikota didesain sendiri oleh G.C. Citroen, arsitek Belanda yang lama menetap di Surabaya.

Di Depan Balai Kota (Foto by Fajar Mc Xoem)
Sayang di Balai Kota ini cuma mampir dan dijelasin di halamannya saja, gak sempat masuk ke dalam.
 2. Tugu Alun-Alun Bundar
Setelah dari Balai Kota, nyebrang pas di depannya ke Tugu Alun-Alun.
Tepat setahun setelah proklamasi Indonesia, dilaksanakan peletakan baru pertama sekaligus menempatkan oorkonde (prasasti) dalam fondamen pembangunan tugu peringatan proklamasi kemerdekaan di malang. Sempat hancur pada saat agresi militer Belanda II hingga hanya tersisa fondasinya saja, baru pada 20 Mei 195

Gak ada singa berkaca mata duduk di bawah Tugu (Foto by Aziz Hadi)
Ada cerita lucu mengenai tugu itu, katanya orang Malang pada waktu itu sangat bangga dengan tugu itu, mereka berprinsip selama tugu berdiri, perjuangan tak akan berakhir, akhirnya Belanda mengebom tugu, maka hancurlah tugu, dan sempat lemes orang-orang Malang pada waktu itu.
3. Jembatan Kahuripan
Kenapa Malang sempat menjadi nominasi sebagai ibukota negara? karena Malang sangat memperhatikan lingkungan, semua bangunan menghadap ke sungai, termasuk di daerah kahuripan ini. Begitulah yang diungkapkan mas Dwi Cahyono yang menjelaskan sambil nunjuk-nunjuk sungai dari jembatan.

Sungai Brantas di bawah jembatan Kahuripan (Foto by Dian)
Sayang sekarang semua bangunan membelakangi sungai, dan sungai jadi tidak berfungsi. Seperti yang dikatakan Dwi cahyono, Malang dibelah oleh 3 sungai dan 4 gunung besar.
Menurut sejarah, Jembatan Kahuripan dibangun selama 6 tahun mulai dari tahun 1924, jembatan tidak lagi hanya berfungsi sebagai penghubung jalan Kahuripanm dan Semeru yang merupakan jalan protokol di Malang, tapi juga untuk memecah keramaian dari alun-alun ke daerah Stadion Gajayana.
4. Kayutangan
Ke arah selatan dikit dari Jembatan Kahuripan, Rusa dan teman-teman diajak ke Kayutangan. Lagi-lagi, seperti yang diungkapkan oleh mas Dwi Cahyono ada dua versi yang menyebutkan asal usul nama Kayutangan. Pertama sebelum tahun 1942 terdapat papan penunjuk arah besar yang berbentuk tangan yang dibuat oleh Belanda. Kedua, di saat mulai berkembangnya kawasan alun-alun, di ujung terdapat pohon menyerupai tangan. Sekitar 1960-1970an pertokoan ini menjadi pusat keramaian di Malang dengan ragam antara lain perdagangan umum, perkantoran, bioskop dan lain-lain.
5. Perempatan Kayutangan
Kalau melewati perempatan Kayutangan, pasti melihat bangunan kembar, tapi sayang sekarang bangunan itu tak tampak seperti kembar lagi kalau tidak dilihat dengan seksama. Bangunan kembar itu merupakan desain arsitek belanda, Karel Bos. Beberapa orang menganggap bahwa bentuk kembar bangunan ini menggambarkan pintu gerbang menuju ke arah Semeru, sementara sebagian lagi berpendapat bahwa desain kembar tersebut terinspirasi dari putra kembar Karel. Garya arsitektur bangunan ini beraliran Nieuwe Bouwen dengan ciri khas menara pengawas di atas gedung.
6. Monumen Chairil Anwar
Berjalan ke arah barat lagi, kita akan mendapati Monumen Chairil Anwar. Rusa sih sempat kaget, lah koq bisa ada Monumen Chairil Anwar di sini. Kata mas Dwi Cahyono sih karena pada waktu itu beberapa tokoh suka sama sastra, termasuk sama puisi-puisi Chairil Anwar. Ditambahkannya lagi sih, katanya berjuang tidak hanya bisa dilakukan dengan turun ke medan perang, tapi juga bisa dengan diwujudkan dalam senin atau penulisan pemikiran.

Bertanduk di Monumen Chairil Anwar (Foto by Dian)
7. Toko Oen
Toko lawas ini berdiri sejak tahun 1930 (huwaw lama sekali ya), toko ini merupakan satu-satunya restoran keluarga Cina bermarga Oen yang menyediakan menu Belanda. Pada saat kongres KNIP tanggal 25 februari 1947, restoran ini menjadi tempat berkumpulnya para peserta kongres Indonesia untuk makan siang. Ketika sebagian kota Malang dibumihanguskan, restoran ini termasuk salah-satu bangunan yang selamat. Hingga kini interior dan resep tradisonal khas kolonialnya masih dipertahankan.

"Jangan lupa tangannya" Kata Fajar Mc Xoem (Foto by Fajar Mc Xoem)
Letak Toko Oen ini berada disebrang barat daya Monumen Chairil Anwar, tinggal nyebrang dikit deh.
8. Alun-Alun Kota
Pada masa pra kolonial, perkembangan konsep tata ruang untuk pusat kegiatan masyarakat hampir sama, yaitu adanya lapangan luas yang ditanami satu atau dua buah pohon beringin yang disebut alun-alun. Biasanya, Kantor Bupati selalu ditempatkan di selatan alun-alun karena kepercayaan sakral daerah setempat. namun karena malang dianggap sebagai daerah dengan pertahanan yang kuat, maka khusus untuk kantor Bupati malang kepercayaan tersebut diubah sehingga posisi kantor bupati berada di sebalah timur-alun-alun.

Di Alun-ALun Kota (Foto by Dian)
Belanda sengaja menempatkan kantor bupati berhadapan dengan Assisten Residen, di samping Masjid Jami’ dan berhadapan dengan penjara untuk mempermudah pengawasan.
9. Museum Brawijaya
Museum ini dibangun di atas lahan seluas 10.500m2, museum ini resmi dibuka pada 4 Mei 1968 dengan nama Brawijaya Sesanti Citra Uthapana Cakra yang berarti sinar yang membangkitkan kekuatan.

Di depan Museum Brawijaya (Foto by Fajar Mc Xoem)

Entah itu meriam apa namanya :) (Foto by Fajar Mc Xoem)

Masih di Museum Brawijaya (Foto by Dian)
Koleksi Museum Brawijaya antara lain tank hasil rampasan tentara  Jepang di Surabaya, Tank Amphibi AM Track, Meriam 3,7 inci “sibuang” dan Gerbong Maut.
Museum Brawijaya juga memiliki buku-buku sejarah perjuangan, alat transportasi pos jaman perjuangan.
10. Inggil Museum Resto
Ini adalah tempat terakhir yang dikunjungi dalam Jelajah Kota Malang #oblongmerahmuda, museum ini berada di dalam restoran budaya Jawa yang konsisten mengangkat ke-inggil-an budaya jawa dalam menjamu para tamunya dengan menggunakan pakaian, bahasa masakan, tata ruang ornamen serta perlengkapan makanan khas Jawa.

Ini mungkin foto terakhir dengan jari membentuk huruf X dan L (Foto by Fajar Mc Xoem)

Ini tempatnya sumpah keren gila (Foto by Fajar Mc Xoem)
Museum resto ini menyimpan benda-benda kolonial yang berusia lebih dari seabad. Peninggalan cagar budaya ini merupakan bagian dari program sosial Restoran Inggil yang dilaksanakan sejak 1993 dalam rangka pendataan, pelaporan dan penyelamatan cagar budaya.
Restoran Inggil pernah menjadi restoran terbaik di jawa Timur pada tahun 1997 dan 100 restoran terbaik dunia-Madrid Spanyol pada tahun 1998.
Di restoran ini pula rangkaian acara ulang tahun Blogger Ngalam ditutup.
Berbagai data yang Rusa tuliskan di atas adalah bersumber apa yang diterangkan mas Dwi Cahyono pas sedang jelajah, juga dari catatan yang dibagikan kepada peserta jelajah yang juga bersumber pada buku karangnya, Malang – Telusuri dengan Hati.
Semua foto jembretan dari kameranya Aziz Hadi, Dian Zput dan Fajar Mc Xoem.

0 komentar:

Posting Komentar